Kekuatan dari Tuhan
Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; (Yesaya 59 : 1)
Manusia hidup tidak lepas dari pergumulan. Bahkan seolah pergumulan tidak akan pernah habis. Satu belum selesai sudah ditambah satu lagi. Tidak banyak manusia yang tahan terhadap pergumulan hidupnya. Tapi bagi orang percaya, ada janji Tuhan yang akan selalu menyertai kita. Ini juga yang diamini oleh Ibu Sih. Apa yang terjadi dengan ibu Sih?
Saya menikah dengan orang Kristen. Saya sendiri bukan Kristen. Pernikahan kami tidak terlalu diterima oleh keluarga suami. Tapi keputusan ini sudah kami ambil, jadi saya dan suami berusaha menjalani kehidupan dengan baik. Kehidupan saya memang termasuk sulit. Suami saya sering pindah kerja, bahkan di satu tempat kerja kadang-kadang tidak lama. Itu juga yang membuat perekonomian kelurga kami sangat pas-pasan.
Waktu anak pertama saya lahir, saya merasa perekonomian keluarga harus ditopang. Rasanya tidak mungkin suami saya bekerja sendiri. Saya tidak meremehkan suami, tapi saya pikir, sebagai istri tidak ada salahnya saya membantu bekerja, supaya pendapatan keluarga bertambah. Sekolah saya tidak tinggi, jadi pekerjaan sederhana saja yang bisa saya lakukan.
Awal pernikahan kami, suami saya termasuk orang yang rajin ke gereja, sementara saya di rumah. Waktu anak pertama kami masih kecil dia juga belum ke gereja. Ada tetangga kami yang juga Kristen pernah menanyakan pada saya, kenapa saya dan anak saya tidak ke gereja. Saya jawab saja saya bukan Kristen, dan anak saya masih kecil.
Pernikahan kami dilengkapi dengan hadirnya anak kedua, laki-laki juga. Perekonomian keluarga kami semakin menurun. Saya bingung. Saya hanya meminta suami saya tetap bekerja dan saya juga harus bekerja.
Ketika anak sulung kami usia 5 tahun, saya mulai bertanya apakah dia mau ke gereja? Dia jawab : dia mau ke gereja. Saya yang mengalah. Akhirnya saya mengantarkan anak saya ke gereja, di temani tetangga saya. Saya belum berani ke gereja bersama suami, karena banyak orang tau saya bukan kristen. Saya menemani anak saya di kegiatan Sekolah Minggu. Lama kelamaan saya memahami apa yang diajarkan pada anak saya. Saya senang sekali dengan pengajaran itu. Saya putuskan saja saya mau jadi kristen dan saya di baptis, setelah mengikuti beberapa kali pembinaan.
Setelah saya menjadi Kristen, Tuhan memberkati kami dengan hadirnya anak ketiga, perempuan. Saya senang sekali, meskipun ini berarti beban keluarga semakin besar. Suami dan saya harus semakin keras bekerja supaya penghasilan keluarga cukup. Berkat Tuhan masih kami rasakan. Sekalipun pendapatan keluarga pas-pasan, ada sebuah lembaga yang membantu biaya sekolah kedua anak kami. Ini sangat menolong. Tapi saya dan suami tetap harus bekerja untuk kehidupan keluarga kami sehari-hari.
Saya terus berdoa supaya suami bisa punya pekerjaan tetap. Sayapun berdoa supaya saya juga punya pekerjaan yang tetap. Tuhan jawab berbeda. Tuhan justru menghadirkan anak kembar dalam keluarga kami. Saya bingung harus bersyukur atau harus menyesali. Saya bertanya pada Tuhan : kenapa Tuhan hadirkan lagi anak dalam keluarga kami, sementara ekonomi belum juga meningkat, anak kembar lagi. Beraaaat sekali beban ini. Saya belum tau apa maksud Tuhan. Tapi saya terima saja berkat Tuhan ini, dengan satu resiko, saya dan suami harus bekerja lebih keras lagi.
Setiap pagi saya mengantar anak-anak ke sekolah. Saat itulah saya gunakan kesempatan untuk berjualan. Pernah saya berjualan mainan anak-anak, makanan ringan, dan banyak variasi lain. Yang penting saya punya kesibukan yang menghasilkan uang. Penghasilan ini tidak banyak. Tapi cukuplah untuk uang saku ketiga anak kami yang sekolah.
Tanpa terasa, anak sulung saya sudah selesai SMP dan ingin melanjutkan sekolahnya. Anak sulung dan anak kedua saya memang agak pendiam. Jarang bicara panjang atau ngobrol. Tapi karena ini berkaitan dengan sekolahnya, saya sempatkan diri untuk ngobrol agak panjang. Dia memilih sekolah kejuruan yang jaraknya sekitar 20 km dari tempat tinggal kami. Saya belum menginjinkan dan belum melarangnya. Banyak yang saya pikiran ketika dia menyampaikan keinginannya. Pikiran pertama saya adalah biaya. Biaya sekolah, biaya transportasi, biaya konsumi, dan mungkin banyak biaya tidak terduga yang lain
Sekalipun pendidikan saya tidak tinggi tapi saya ingin anak-anak bisa mencapai pendidikan setinggi mungkin. Mereka berhasil dalam pekerjaan, supaya mereka tidak seperti orangtuanya. Saya juga ingin ekonomi mereka cukup nantinya, mereka mendapat pekerjaan yang bagus. Rasanya apa yang saya pikirkan tidak terlalu muluk. Semua orangtua pasti ingn yang terbaik untuk anak-anaknya. Saya juga begitu.
Saya mengabulkan keinginan Amang anak sulung saya untuk sekolah di sekolah kejuruan pilihannya. Saya ingin anak saya senang dengan pihannya dan bertanggungjawab dengan pilihannya. Dua tahun kemudian, Toni, anak kedua saya juga memilih sekolah yang sama. Tentu saja biaya transport jadi membengkak. Kami hanya punya motor tua. Motor itulah yang membantu perjalanan kedua anak kami ke sekolah.
Suatu hari saya mendapat telpon dari rumah sakit, anak kami kecelakaan. Saat itu saya di sekolah mengantar dan menemani si bungsu. Tanpa pikir panjang, saya langsung ke rumah sakit, dan saya menangis melihat Toni tergeletak di sana. Sementara Amang terdiam tak bisa berkata-kata. Pihak rumah sakit menyarankan Toni dipindah ke rumah sakit umum di kota. Saya mengikuti saja saran tenaga medis, demi keselamatan Toni. Saya berpesan pada suami untuk menitipkan si bungsu pada ibuku di kampung, karena aku tidak bisa merawatnya. Sementara Nia, putri kecil kami semntara kami titipkan di rumah teman sekelasnya. Konsentrasi saya sekarang pada Toni.
Doa saya tidak putus-putusnya. Dan saya bertanya pada Tuhan. Kenapa keluarga saya mengalami ini? Ekonomi saya sangat terpuruk. Kami tidak punya asuransi kesehatan. Dan anak saya mengalami kecelakan setelah motornya berserempetan dengan mobil tentara. Urusan apa lagi ini? Toni belum membuka matanya. Saya terus menemaninya. Saya pegang dahinya, saya pegang dadanya saya genggam tangan hanya untuk mengajaknya berdoa.
Toni harus dioperasi. Sementara tidak ada uang di tangan. Tabunganpun tidak ada sama sekali. Saya tidak bisa berpikir panjang. Saya tanda tangani saja persetujuan keluarga untuk operasi, tanpa saya tau, bagaimana pembayarannya. Toni masuk ruang operasi dan saya hanya bisa mengiringinya dengan air mata. Saya tumpahkan semua keluh kesah saya pada Tuhan. Berapa biayanya, bagaiman saya harus membayarnya.
Ketika malam menjelang, seorang tentara menemui saya dan dia menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, karena musibah ini sudah terjadi. Saya hanya ingin anak saya mendapat perawatan dan sembuh. Di luar dugaan, tentara ini sangat membantu saya, sehingga semua urusan administrasi dan pembayaran, mereka yang menanggungnya. Air mata saya kembali tumpah. Kali ini air mata kebahagiaan. Tuhan tidak memberi saya uang untuk biaya operasi Toni, tapi Tuhan membebaskan melalui orang lain. Terima kasih Tuhan.
Tanpa terasa, 21 hari lamanya saya menemani Toni di rumah sakit. Tiga kali operasi harus dilewati sebelum akhirnya Toni diperbolehkan pulang. Operasi di kepala, operasi bagian hidung dan juga kakinya. Sembuh? Belum. Masih ada tahapan operasi lagi yang harus dilewati. Sekarang sudah 4 bulan dari peristiwa kecelakaan itu, Toni masih harus bolak balik ke rumahsakit untuk kontrol. Toni belum bisa jalan. Bahkan akibat dari kecelakaan itu ada gangguan di bola matanya. Semuanya masih harus ditangani bertahap. Saya dan Toni masih harus sabar menjalaninya.
Saya tidak menyesali apa yang sudah terjadi. Saya belajar melihat dan merasakan, satu persatu Tuhan selesaikan dengan cara Tuhan yang luar biasa. Biaya operasi yang mungkin hampir seratus juta, kesehatan saya selama 21 hari menjaga Toni, suami dan anak-anak yang tetap sehat, semua anugerah Tuhan. Bahkan ada banyak orang yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang terus memperhatikan keluarga kami. Saya bersyukur, saya menjadi orang Kristen yang terus mendapat kekuatan dari Tuhan.
Saya masih harus menguatkan Toni. Dia tidak bisa melanjutkan sekolah di tahun ini. Lagi-lagi tangan Tuhan bekerja. Pihak sekolah memberi dispensasi supaya Toni bisa mengulang di tahun depan. Toni harus mengulang bukan karena dia bodoh. Ini yang aku sampaikan pada Toni supaya dia tetap punya semangat untuk sembuh dan semangat untuk sekolah lagi, meskipun harus mengulang.
Pergumulan keluarga kami belum selesai. Ekonomi keluarga belum meningkat. Kesehatan Toni belum pulih. Biaya hidup masih tinggi. Pekerjaan saya dan suami belum tetap. Kami bekerja apa saja yang bisa menghasilkan uang. Tapi saya bersyukur, karena pertolongan Tuhan selalu tepat waktu, dan Tuhan mendengar doa kami, anak-anakNya. Saya semakin yakin dengan bagian Firman Tuhan yang pernah saya baca bahwa tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar. Saya benar-benar merasakannya.
Sahabat kisah, memang tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar.